Diego Costa, contoh pemain yang memanfaatkan ius nexi untuk berseragam Timnas Spanyol. (Sumber: X/@iconic_sage1) |
Jurnalolahraga.id - Bagaimana aturan pindah kewarganegaraan alias "naturalisasi" dari FIFA? Apakah naturalisasi bisa memicu polemik, dan dengan cara apa identitas nasional pesepakbola bisa diperoleh?
Gijsbert Oonk dari Erasmus University Belanda membahas kompleksitas masalah ini via riset berjudul: Who May Represent the Country? Football, Citizenship, Migration, and National Identity at the FIFA World Cup.
Oonk memaparkan perspektif historis dan kontekstual, lalu mengusulkan tiga kategori untuk mengeksplorasi topik ini:
1. Diaspora
2. Negara Berkembang dan Bubar
3. Realitas Kolonial dan Pascakolonial
Tim Diaspora
Oonk mendefinisikan, tim diaspora adalah saat negara merekrut pemain-pemain asing pemilik hubungan darah dengan negara tersebut.
Dalam kategori ini, sorotannya yakni negara-negara telah menggunakan konsep ius sanguinis atau kewarganegaraan etnis berdasar keturunan, demi menarik pemain asing ke Timnas mereka.
Salah satu contoh paling terkenal yakni Timnas Italia pada Piala Dunia 1934.
Dalam turnamen tersebut, Italia merekrut pemain-pemain keturunan yang lahir di Amerika Serikat, Argentina, dan Brasil.
Pemain-pemain ini, seperti Giuseppe Meazza dan Silvio Piola, berperan penting membantu Italia jadi kampiun Piala Dunia.
Contoh lain dari tim diaspora adalah Timnas Maroko pada Piala Dunia 2022.
Singa Atalas saat itu memiliki 14 pemain yang lahir di luar Maroko, termasuk keturunan Prancis, Belanda, dan Spanyol.
Mereka membawa Maroko hingga babak semifinal Piala Dunia, terbaik selepas empat warsa sebelumnya masuk ke 16 besar.
Negara Berkembang dan Bubar
Kategori kedua usulan Oonk adalah negara yang berkembang dan bubar.
Dalam kategori ini, Oonk menyoroti bagaimana perubahan perbatasan dan status negara bisa saja berdampak pada identitas nasional.
Salah satu contoh kondang kasus ini adalah Jerman.
Pada 1938, Jerman menganeksasi Austria dan Sudetenland, sehingga meningkatkan jumlah pemain Jerman yang lahir di luar Jerman.
Akhirnya timbul kontroversi, sebab beberapa pemain mereka sebelumnya tidak pernah tinggal di Jerman.
Contoh lain dari negara yang berkembang dan bubar adalah Yugoslavia.
Pada 1990, Yugoslavia pecah jadi beberapa negara merdeka. Dampaknya, pemain-pemain Yugoslavia harus memilih akan membela timnas mana.
Realitas Kolonial dan Pascakolonial
Kategori ketiga, menurut Oonk: realitas kolonial dan pascakolonial.
Dalam kategori ini, dia menyorot bagaimana kolonialisme dan dekolonisasi telah membentuk identitas nasional tim sepak bola.
Salah satu contoh paling terkenal adalah Timnas Portugal pada Piala Dunia 1966.
Dalam turnamen tersebut, Selecao das Quinas diwakili oleh tim yang sebagian besar terdiri dari pemain-pemain keturunan Afrika.
Pemain-pemain ini membantu Portugal mencapai final Piala Dunia, pencapaian terbaik mereka sepanjang sejarah.
Contoh lain, ada Timnas Prancis pada Piala Dunia 2018. Les Bleus saat itu punya 14 pemain kelahiran luar Prancis.
Pemain-pemain ini membantu Prancis memenangkan Piala Dunia, menjadi tim pertama yang memenangkannya dengan mayoritas pemain keturunan imigran.
Oonk berpendapat, tiga kategori usulannya tadi bisa membantu kita memahami kompleksitas identitas nasional pesepakbola.
Kategori-kategori ini menunjukkan, identitas nasional tidak selalu didasarkan pada kebangsaan atau kewarganegaraan, tetapi juga muncul dari hubungan darah, sejarah, dan budaya.
Kedepannya, menurut Oonk, identitas nasional pemain sepak bola bakal kian kompleks. Hal ini disebabkan oleh globalisasi dan mobilitas manusia.
Pemain sepak bola dari berbagai negara akan semakin sering bermain di negara lain, sehingga identitas nasional mereka kian beragam.
Dari pemaparan Oonk tadi, bisa disimpulkan:
1. Identitas nasional dalam timnas sepak bola tidak selalu hitam-putih. Ada banyak cara untuk menjadi bagian dari sebuah negara, dan identitas nasional dapat didefinisikan dengan berbagai cara.
2. Identitas nasional dalam timnas sepak bola bisa jadi sarana mengekspresikan nasionalisme dan identitas. Pemain sepak bola dapat menjadi simbol kebanggaan nasional, dan keberhasilan mereka memperkuat identitas nasional sebuah negara.
Aturan Keanggotaan Tim Nasional dari FIFA
FIFA didirikan pada 1904 dengan tujuan utama mengatur pertandingan sepak bola internasional antar negara. Saat itu, FIFA berperan penting dalam standarisasi dan globalisasi aturan permainan.
FIFA menyelenggarakan Piala Dunia pertamanya di Uruguay pada tahun 1930, meskipun peraturannya belum mencakup keanggotaan nasional.
Hal ini menunjukkan bahwa peraturan tentang pertukaran kewarganegaraan belum dianggap sebagai prioritas dalam laga internasional.
Menariknya, secara hukum dan moral itu dapat diterima.
Contohnya, Luis Monti yang lahir di Argentina dan bermain di final Piala Dunia antara Argentina vs Uruguay, empat tahun kemudian bisa bermain untuk Italia di ajang serupa.
Pada Kongres FIFA ke-33 di Santiago, Chili, tepatnya tahun 1962, FIFA berusaha mengakhiri era pertukaran kewarganegaraan tanpa aturan.
Pemicunya yakni kontroversi pemain kondang Alfredo di Stefano. Dia bermain enam kali untuk Timnas Argentina dan 31 kali untuk Timnas Spanyol.
Sebagai catatan, Di Stefano sebenarnya juga sempat bermain empat kali untuk Timnas Kolombia; tetapi, Kolombia saat itu tidak diakui oleh FIFA karena liga mereka melanggar aturan transfer pemain.
Kendati demikian, tetap saja kasus Di Stefano mendorong FIFA merumuskan aturan ihwal pertukaran kewarganegaraan.
Ketentuan tahun 1962 yakni pemain harus menjadi warga negara yang dinaturalisasi, menurut hukum negara yang relevan, untuk bisa mewakili negara tersebut.
Perubahan Aturan FIFA Soal Kewarganegaraan Timnas
Aturan FIFA mengenai kewarganegaraan pemain sepak bola terus berkembang seiring dengan perubahan tren sepak bola dan globalisasi.
Rentetan perubahannya sebagai berikut:
Pada tahun 1962, FIFA menetapkan aturan bahwa pemain harus memiliki kewarganegaraan naturalisasi untuk mewakili tim nasional suatu negara.
Aturan ini menggantikan aturan sebelumnya yang tidak mensyaratkan kewarganegaraan naturalisasi. Tujuannya untuk mencegah partisipasi pemain di timnas hanya demi keuntungan taktis.
Pada tahun 1974, FIFA menambahkan aturan, pemain yang telah bermain untuk satu tim nasional, tidak boleh bermain untuk tim nasional lain, kecuali dalam kasus-kasus tertentu, seperti perubahan kewarganegaraan karena situasi politik atau pernikahan.
Aturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pemain yang membela suatu tim nasional memiliki ikatan sejati dengan negara tersebut.
Pada tahun 2004, FIFA menetapkan aturan bahwa pemain harus tinggal di negara yang ingin dibelanya selama minimal dua tahun setelah mencapai usia 18 tahun, sebelum mengajukan permohonan kewarganegaraan berdasarkan ius nexi.
Aturan ini bertujuan untuk mencegah pemanfaatan prinsip ius nexi untuk keuntungan taktis jangka pendek.
Pada tahun 2020, FIFA menetapkan aturan bahwa pemain harus tinggal di negara yang ingin dibelanya selama minimal lima tahun setelah mencapai usia 18 tahun, sebelum mengajukan permohonan kewarganegaraan berdasarkan ius nexi.
Ius Sanguinis, Ius Soli, & Ius Nexi
Salah satu aspek penting dari identitas nasional yakni kewarganegaraan. Kewarganegaraan adalah status hukum yang menghubungkan seseorang dengan suatu negara.
Dalam konteks sepak bola, kewarganegaraan menentukan apakah seorang pemain berhak untuk membela tim nasional suatu negara.
Aturan kewarganegaraan pemain timnas sepakbola di setiap negara berbeda-beda. Namun, secara umum, terdapat tiga prinsip yang dipakai buat memutuskan hal tersebut.
1. Prinsip ius sanguinis: didasarkan pada keturunan.
2. Prinsip ius soli: didasarkan pada tempat kelahiran.
3. Prinsip ius nexi: didasarkan pada "hubungan yang nyata dan efektif" dengan suatu negara.
Ius Sanguinis
Prinsip ius sanguinis adalah prinsip yang menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh kewarganegaraan orang tuanya.
Dalam konteks sepak bola, prinsip ini berarti bahwa seorang pemain berhak membela timnas suatu negara jika ia memiliki keturunan dari negara tersebut, meski dia lahir di negara lain.
Prinsip ius sanguinis paling umum digunakan di dunia. Sekitar 60% negara di dunia menganut prinsip ini, termasuk Indonesia, Jerman, Italia, Spanyol, Prancis, Portugal, Brasil, dan Argentina, serta Uruguay.
Ius Soli
Prinsip ius soli menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya.
Dalam konteks sepak bola, prinsip ini berarti bahwa seorang pemain berhak untuk membela tim nasional suatu negara jika ia lahir di negara tersebut, meski tidak memiliki darah keturunan dari negara tersebut.
Prinsip ius soli adalah prinsip yang lebih jarang digunakan di dunia. Sekitar 30% negara di dunia menganut prinsip ini, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Argentina, Brasil, Meksiko, Kolombia, Venezuela, dan Uruguay, serta Chili.
Ius Nexi
Prinsip ius nexi menyatakan bahwa kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh "hubungan yang nyata dan efektif" dengan suatu negara.
Dalam konteks sepak bola, prinsip ini berarti, seorang pemain berhak membela tim nasional suatu negara, jika ia memiliki hubungan yang nyata dan efektif dengan negara tersebut, meskipun ia tidak memiliki keturunan dari negara tersebut dan tidak lahir di negara tersebut.
Prinsip ius nexi termasuk masih baru dibanding dua lainnya tadi.
Diego Costa kerap disebut sebagai contoh pemain yang memanfaatkan prinsip ius nexi untuk membela tim nasional Spanyol. Hanya saja, ada sejumlah kritik yang mengitarinya.
Ia pindah ke Spanyol pada usia 15 tahun dan tinggal di sana selama kurang lebih 11 tahun, sebelum dipanggil untuk tim nasional.
Di masa itu, ia bermain di klub-klub La Liga, beradaptasi dengan kehidupan Spanyol, dan menguasai bahasa Spanyol.
Diego Costa juga sempat memperkuat timnas Brasil. Ia dipanggil untuk Selecao pada 2013 dan bermain dua kali, tepatnya pada laga persahabatan kontra Jepang dan Meksiko. Akan tetapi, pada akhirya Diego Costa memutuskan bergabung dengan Timnas Spanyol pada 2014.
FIFA sendiri memang secara hati-hati mengatur penerapan ius nexi.
Aturan terbaru yang dikeluarkan pada 2020 mensyaratkan pemain harus tinggal di negara yang ingin dibelanya selama minimal lima tahun setelah mencapai usia 18 tahun sebelum mengajukan permohonan kewarganegaraan berdasarkan ius nexi.
Kasus Diego Costa, meski kontroversial, tetap jadi contoh penting dalam diskusi mengenai kewarganegaraan pemain sepak bola dan penerapan prinsip ius nexi.
Ia memicu perdebatan akan loyalitas, kesempatan, dan faktor-faktor lain penentu "siapa yang berhak mengenakan seragam tim nasional suatu negara".
*Artikel ini disarikan dari penelitian berjudul: Who May Represent the Country? Football, Citizenship, Migration, and National Identity at the FIFA World Cup via International Journal of The History of Sports.